Setiap ahli hukum yang mendalami
konstitusi akan bertemu konsep untuk membeda-bedakan konstitusi. Ada konstitusi
federal (mengatur susunan Negara federal) dan konstitusi Negara kesatuan (mengatur
susunan Negara kesatuan). Ada konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi
tertulis dibedakan antara UUD dan yang bukan UUD (undang-undang atau dokumen
lain seperti Magna Carta). Ada yang membedakan anatar konstitusi rigid dan
fleksibel.
Perbedaan-perbedaan atau
penggolongan-pengolongan tersebut sekedar sebuah konsep, karena itu hanya
bersifat akademis belaka. Dalam wujud praktis, didapati substansi-substansi
umum yanga ada apada setiap konstitusi. Setiap Negara akan selalu memiliki
sekaligus konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Semua konstitusi akan memuat
dasar-dasar fundamental Negara, susunan alat-alat kelengkapan Negara (constitutional
organs), kependudukan dan kewarganegaraan, bentuk Negara, bentuk pemerintahan,
dan lain-lain.
Kita akan membahas konsep
konstitusi rigid (dan fleksibel), khususnya UUD 1945 sebagai konstitusi rigid. Perbedaan
antara konstitusi rigid dan fleksibel bertolak dari cara perubahan (amandemen)
konstitusi. Disebut fleksibel kalau perubahan tidak berbeda dengan tata cara
mengubah undang-undang (statute, wet). Dikatakan rigid, apabila perubahan
mensyaratkan tata cara khusus yang berbeda dengan perubahan undang-undang. Tata
cara khusus yang berbeda tersebut dalam makna syarat yang sulit dari perubahan
undang-undang biasa.
Pandangan lain mengatakan, rigid
atau fleksibel diukur dari ‘apabila konstitusi acapkali diubah atau tidak?’
Meskipun tata cara perubahan diatur secara khusus, tetapi jika acapkali terjadi
perubahan, maka konstitusi tersebut adalah konstitusi fleksibel. Sebaliknya,
meskipun perubahan diatur secara sederhana, sama dengan mengubah atau membuat
undang-undang, tetapi dalam kenyataan konstitusi tersebut jarang atau tidak,
maka disebut konstitusi rigid. Pandangan kedua ini diluar kerangka normatif. Perubahan
atau tidak ada perubahan adalah kehendak politik, bukan persolana hukum.
Telah dikemukakan, pengertian
rigid dan fleksibel berkaitan dengan tata cara perubahan atau yang disebut
perubahan (secara) formal. Tata cara atau prosedur formal hanya mungkin
diterapkan pada konstitusi tertulis. Tidak ada kepastian prosedur perubahan
konstitusi tidak tertulis. Misalnya, perubahan konvensi ketatanegaraan semata-mata
atas dasar praktik ketatanegaraan. Suatu konvensi ketatanegaraan surut berangsur-angsur
(fading away) pada saat ada konvensi ketatanegaraan baru. Hukum adat
ketatanegaraan berubah sejalan dengan kehadiran hukum adat ketatanegaraan yang
baru. Menurut beberapa ahli hukum adat seperti Ter Haar, hukum adat terbentuk
melalui putusan kepala adat (dikenal sebagai ajaran atau teori keputusan atau
beslissingenieer). Ahli lain mengatakan hukum terbentuk secara berangsur-angsur
adri adat istiadat menjadi hukum adat. Demikian pula hukum yang dibentuk hakim.
Tugas utama hakim adalah memutus suatu perkara konkret atau memutus suatu
perkara permohonan, bukan membentuk hukum, hukum yang dibentuk hakim adalah
akibat belaka dan putusan atas suatu perkara. Hukum yang dibentuk hakim,
seperti juga hukum adat yang dibentuk kepala adat bersifat insidental, tanpa
tata cara tertentu. Yang ada adalah tata cara memutus perkara, bukan tata cara
membentuk atau mengubah hukum . berdasarkan hal-hal diatas, maka yang dimaksud
konstitusi rigid atau fleksibel hanya mengenai (hanya berlaku) untuk konstitusi
tertulis (written constitution).
Telah dikekmukakan ada konstitusi
tertulis yang disebut UUD (grondwst, belanda; grundgesetz, jerman) dan
konstitusi tertulis yang bukan UUD (diatur dalam undang-undang) atau dokumen
tertulis tertentu (seperti Magna Carta).
Semua Negara memiliki secara
serentak konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Begitu pula Negara yang
mempunyai UUD, selalu disertai konstitusi tertulis diluar UUD, dan konstitusi
tidak tertulis. Selanjutnya, setiap Negara menentukan kedudukan setiap bentuk
konstitusi tertulis tersebut. UUD hampir selalu berkedudukan paling tinggi (the
highest law) di hadapan konstitusi tertulis lainnya (undang-undang). Tetapi tidak
selalu demikian dihadapan konstitusi tidak tertulis, khususnya konvensi dan
putusan hakim. Tidak jarang, konvensi (sebagai kaidah etik) mereduksi kaidah hukum
konstitusi. Meskipun menurut kaidah hukum konstitusi, kepala Negara dapat
menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui parlemen, dalam praktik (atas
dasar konvensi), penolakan tidak pernah dilakukan (dibandingkan dengan
Indonesia yang secara hukum mewajibkan presiden mengesahkan RUU yang sudah
disepakati DPR dan pemerintah). Begitu pula putusan hakim. Tidak jarang putusan
hakim member pengertian lain (baru) terhadap ketentuan UUD. Namun, perlu
dicatat, pergeseran-pergeseran kaidah hukum konstitusi oleh konvensi atau
putusan hakim semata-mata dimaksudkan untuk memperkuat sendi-sendi konstitusi
atau menjamin konstitusi tetap actual sebagai the living constituton. Bukan sebaliknya,
mematikan konstitusi.
Bagaimana dengan konstitusi
tertulis di luar UUD (c.q. undang-undang)? Apakah dapat menggeser sendi-sendi
UUD? Sama sekali tidak boleh. Seperti dikatakan Rudolf Von Jhering, setiap hukum
bersumber pada tujuan tertentu. UUD selain dibaut atas dasar sendi-sendi
tertentu, juga mempunyaihukum tertulis diluar UUD (seperti undang-undang) yang
menyimpangi sendi-sendi dan tujuan UUD, akan menyebabkan UUD menjadi konstitusi
mati (the dead constitution), bukan UUD yang actual (the living constitution).
Secara akademis, ada yang disebut
undang-undnag organik (organic law). Undang-undang organik adalah undnag-undang
yang dibentuk atas perintah UUD. Disebut “organik” karena merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari UUD, tidak boleh bertentang dengan UUD.